Perlukah Terapi Seks dengan Film Porno
0
comments
Perlukah Terapi Seks dengan Film Porno | Sebanyak 58 dari 78 pria atau 61,50% mengaku kepada pasangannya jika merasa senang dan bergairah terhadap film biru atau film porno. Ajang tonton film porno bisa jadi terapi seks untuk pasangan yang mengalami kejenuhan.
Dalam sejumlah kasus, hubungan pasangan suami-istri yang sudah dingin bisa dihangatkan kembali dengan menonton film-film semacam itu. Secara visual, film-film itu bisa merangsang nafsu. "Sementara berbagai teknik, gaya dan variasi bisa dianggap sebagai referensi dalam hubungan seksual," kata dr. Bambang Soekamto, seksolog dari On Clinic Indonesia.
Film biru bukan satu hal baru. Dari dulu, film yang mempertontonkan adegan-adegan seksual secara vulgar ini menjadi bagian dari perilaku seks pria dan wanita. Bahwa film biru dapat jadi terapi pada pasangan yang bermasalah, sangat bisa terjadi. Di negara barat, sejumlah seksolog memberikan terapi kepada pasien-pasien tertentu yang mengalami problem seksual, terutama dalam upaya membangkitkan gairah yang memudar atau hilang.
Sejumlah pasangan yang sudah berusia lanjut, yang secara fisik dan mental telah mengalami penurunan kemampuan dan minat, sebagian berhasil dinyalakan kembali dengan tontonan film seks itu; meskipun tidak maksimal.
"Keterbukaan komunikasi dapat menjadi kunci solusi permasalahan seks. Makin banyak wanita yang berbicara secara lebih terbuka di media masa atau diskusi. Bahkan, banyak wanita yang diam-diam datang ke klinik bicara khusus masalah seks kaum pria, ketika ada kesempatan berbicara, pihak wanita melakukannya dengan proaktif. Yang menarik, kalau dulu, film biru dianggap sebagai hiburan negatif sehingga haram untuk ditonton, kini ada kelompok yang menganggapnya sebagai referensi," jelas dr Bambang.
Sebagian besar penonton (52,58%), lanjut dr Bambang, mendapatkan informasi tentang gaya dan teknik bercinta. Bahkan ada yang menyatakan sebagai pembangkit gairah yang menurun.
"Sebenarnya, soal film biru atau apa pun hal yang digunakan untuk membantu permasalahan seksual hanyalah salah satu faktor saja. Yang terpenting adalah adanya persamaan persepsi antara kedua belah pihak, dalam hal ini pasangan suami-istri," tambah Dr Bambang.
Bagi penderita impotensi dan frigiditas, film biru terkadang digunakan untuk menguji kapasitas keinginan dan kemampuannya. Gambar-gambar sensual, erotis dan juga dramatis mungkin bisa jadi perangsang terhadap simpul syaraf yang mampu menggerakkan organ vital. Kadang mendapatkan hasil, meskipun seringkali juga tidak.
"Secara biologis, dampak negatifnya terhadap pasien-pasien bermasalah ini relatif tidak besar. Tapi jika membantu pria menjadi percaya diri, bisa saja terjadi. Yang penting, setiap gerakan yang dilakukan dari film biru harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing," kata dokter Bambang yang banyak memiliki pasien pria penderita impotensi ini.
Dalam sejumlah kasus, hubungan pasangan suami-istri yang sudah dingin bisa dihangatkan kembali dengan menonton film-film semacam itu. Secara visual, film-film itu bisa merangsang nafsu. "Sementara berbagai teknik, gaya dan variasi bisa dianggap sebagai referensi dalam hubungan seksual," kata dr. Bambang Soekamto, seksolog dari On Clinic Indonesia.
Film biru bukan satu hal baru. Dari dulu, film yang mempertontonkan adegan-adegan seksual secara vulgar ini menjadi bagian dari perilaku seks pria dan wanita. Bahwa film biru dapat jadi terapi pada pasangan yang bermasalah, sangat bisa terjadi. Di negara barat, sejumlah seksolog memberikan terapi kepada pasien-pasien tertentu yang mengalami problem seksual, terutama dalam upaya membangkitkan gairah yang memudar atau hilang.
Sejumlah pasangan yang sudah berusia lanjut, yang secara fisik dan mental telah mengalami penurunan kemampuan dan minat, sebagian berhasil dinyalakan kembali dengan tontonan film seks itu; meskipun tidak maksimal.
"Keterbukaan komunikasi dapat menjadi kunci solusi permasalahan seks. Makin banyak wanita yang berbicara secara lebih terbuka di media masa atau diskusi. Bahkan, banyak wanita yang diam-diam datang ke klinik bicara khusus masalah seks kaum pria, ketika ada kesempatan berbicara, pihak wanita melakukannya dengan proaktif. Yang menarik, kalau dulu, film biru dianggap sebagai hiburan negatif sehingga haram untuk ditonton, kini ada kelompok yang menganggapnya sebagai referensi," jelas dr Bambang.
Sebagian besar penonton (52,58%), lanjut dr Bambang, mendapatkan informasi tentang gaya dan teknik bercinta. Bahkan ada yang menyatakan sebagai pembangkit gairah yang menurun.
"Sebenarnya, soal film biru atau apa pun hal yang digunakan untuk membantu permasalahan seksual hanyalah salah satu faktor saja. Yang terpenting adalah adanya persamaan persepsi antara kedua belah pihak, dalam hal ini pasangan suami-istri," tambah Dr Bambang.
Bagi penderita impotensi dan frigiditas, film biru terkadang digunakan untuk menguji kapasitas keinginan dan kemampuannya. Gambar-gambar sensual, erotis dan juga dramatis mungkin bisa jadi perangsang terhadap simpul syaraf yang mampu menggerakkan organ vital. Kadang mendapatkan hasil, meskipun seringkali juga tidak.
"Secara biologis, dampak negatifnya terhadap pasien-pasien bermasalah ini relatif tidak besar. Tapi jika membantu pria menjadi percaya diri, bisa saja terjadi. Yang penting, setiap gerakan yang dilakukan dari film biru harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing," kata dokter Bambang yang banyak memiliki pasien pria penderita impotensi ini.